Warta Kopdit bulan November 2016 yang berisi informasi tentang Menatap Wajah Baru Daperma, Mewujudkan Informasi Real Time Sicundo, Penghargaan Sebagai Kopdit Mendekati Ideal, Pola Baru Rapat Anggota Tahunan (Rat) Kopdit Padat Asih, Panduan Aplikasi Sicundo Anggota Kopdit Padat Asih, Kopdit Padat Asih Menggandeng Notaris, Outbound Dan Sarasehan Insan Kopdit Padat Asih, serta beberapa opini dari pengurus Kopdit Padat Asih.
Author: admin
Warta Kopdit Padat Asih Januari 2015
Warta Kopdit Padat Asih bulan Januari 2015, berisi tentang informasi Kunjungan Koordinasi Puskopdit Jakarta, Pendidikan Dasar Kopdit Padat Asih Di Sekolah Binong, Raker Penyusunan Renstra 2015-2019 Kopdit Padat Asih, dan beberapa opini anggota Kopdit.
Dampak Krisis Keuangan Global dan Credit Union
“Krisis keuangan global menampar golongan menengah-atas yang terbiasa hidup di surga monoter. Namun, karena gejolak monoter diramalkan lama, tamparan juga akan dirasakan kelas menengah dan kaum miskin yang hidupnya bergantung pada fluktuasi monoter……”(Yasraf A. Piliang)
Latar Belakang Krisis Keuangan Global
Gejolak monoter yang melanda Amerika Serikat (AS) saat ini, dalam sekejap menjelma menjadi krisis global yang mengguncang fundamental perekonomian dunia. Hampir semua sektor perekonomian terdepresi sehingga menimbulkan kepanikan global. Sesungguhnya kondisi seperti ini sudah lama diprediksi oleh para analis ekonomi-monoter. Prediksi yang mengemuka sejak penerapan sistem perekonomian pasar bebas dan ideologi neoliberalisme, yang melahirkan watak kultural perputaran ekonomi monoter yang mengglobal (orbital) dan penjalaran efek ekonomi yang cepat seperti virus (viral). Watak kultural orbital dan viral memungkinkan adanya keterhubungan dan ketergantungan global yang rentan terhadap gejolak atau krisis. Selain kultur orbital dan viral sebagaimana disebutkan di atas, hal lain yang juga disinyalir turut memberi andil terjadinya krisis keuangan adalah perilaku banal. Perilaku banal selalu merayakan konsumerisme remeh-temeh seperti “shopping”, “life style”, pamer kemewahan; yang juga membutuhkan biaya tinggi. Selisih antara pendapatan dan pengeluaran untuk membiayai perilaku konsumeris diperoleh dari pinjaman. Pada titik tertentu, terjadi ketidakmampuan mengembalikan pinjaman sehingga terjadi kredit macet (Nonperforming Loan/NPL). Kredit macet yang tidak mampu dibayar, menjadi pintu masuk terjadinya gejolak atau krisis keuangan.
Kondisi kesalingterhubungan dan kesalingtergantungan global, telah menciptakan budaya ekonomi global sebagai jejaring terbuka (open network).
Sebagaimana layaknya jaringan internet yang rentan terhadap serangan virus, sistem jejaring terbuka juga rawan terhadap serangan virus spekulasi dan kemacetan, baik yang dilakukan oleh individu maupun korporasi di salah satu belahan dunia. Terbukti,serangan virus krisis keuangan di AS, dengan cepat menjalar dan menyerang seluruh sistem jejaring global tanpa ada yang tersisa. Inilah efek penerapan sistem perekonomian pasar bebas, dengan kendali yang minimal dari otoritas pemerintah, sehingga beresiko melahirkan krisis. Krisis yang akhirnya tidak hanya menampar kaum komsumeris dan hedonis, tetapi juga kaum papa yang tak berdaya dan seluruh fundamental ekonomi.
Imbas Terhadap Perekonomian Nasional
Sebagai bagian dari jejaring ekonomi global, perekonomian Indonesia juga menuai imbas. Awalnya, otoritas pemerintah agak mengabaikan kondisi ini karena beranggapan bahwa efeknya terhadap lalu lintas perekonomian dalam negeri tidak terlalu signifikan. Daya tahan ekonomi Indonesia kuat. Namun, apabila mencermati beberapa kebijakan darurat yang telah dan akan diambil oleh pemerintah dan otoritas monoter belakangan ini, maka tampak sekali adanya kepanikan. Langkah kebijakan darurat, sebagai indikator yang menunjukkan adanya kegentingan dampak krisis keuangan global terhadap perekonomian Indonesia, dapat dicermati melalui beberapa peristiwa berikut. Otoritas pemerintah dan Bank Indonesia (BI), sudah dan akan segera (1) menerbitkan Perpu tentang Jaringan Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), (2) mengubah undang-undang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), (3) mengamandemen undang-undang Bank Indonesia, (4) membentuk gugus tugas penanganan krisis keuangan yang melibatkan tim penyidik Polri, Jaksa Penuntut Umum, LPS, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), serta Bursa Efek Indonesia (BEI), (5) pengetatan likuiditas perbankan, (6) penutupan sementara (suspend) perdagangan BEI pada tanggal 8 Oktober 2008 lalu, dan (7) melaksanakan program “Buy Back” terhadap saham-saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pengetatan likuiditas perbankan, tampak dari adanya langkah yang diterapkan yakni : kehati-hatian dalam menyalurkan kredit, menunda pencairan pinjaman yang telah disetujui, serta menaikkan suku bunga kredit. Akibatnya, para pelaku usaha enggan melakukan eksperimen dan ekspansi usaha. Mereka cenderung mengambil sikap “wait and see”.
Walaupun cukup banyak indikator yang menunjukkan adanya gejala kepanikan, tetapi dalam beberapa momentum komunikasi politik, masih ada juga elit bangsa yang mengumandangkan jargon politik yang persuasif, tetapi bernada sumbang dan gamang : “Jangan panik karena kepanikan hanya akan menimbulkan pergolakan (turbulensi) dan kekacauan (chaos) ekonomi. Daya tahan ekonomi kita masih stabil!”
Berdasarkan deskripsi terhadap beberapa kebijakan darurat yang telah diambil seperti di atas, apakah betul ekonomi kita (Indonesia) tidak terdepresi dan sungguh stabil? Barangkali pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh kita semua dengan sebuah kejujuran hati. Kejujuran yang tidak direkayasa dan digandrungi kalkulasi-kalkulasi politik yang spekulatif, untuk kepentingan orang-orang tertentu, dengan mengorbankan kepentingan yang lebih luas. Semoga apa yang telah dilakukan hanyalah langkah-langkah antisipatif yang seharusnya dilakukan oleh otoritas pemerintah dan perbankan, untuk mencegah gejolak di bidang keuangan bertransmisi menjadi krisis ekonomi yang lebih parah.
Jangan ada dusta di antara kita. Dusta lahir dari matinya hati nurani dan rasa solidaritas manusia. Dusta sering diformat lalu dibungkus dalam bahasa verbal yang persuasif, sehingga mampu menghipnotis manusia, untuk kemudian menerimanya sebagai sebuah kultur baru yang permisif. Tebaran informasi publik berbalut dusta yang tidak proporsional hanya akan memunculkan kebingungan, frustrasi, sakit hati, dan kecewa. Frustrasi, sakit hati, dan kecewa adalah penyakit psikologis yang melahirkan apatisme. Apatisme yang kronis merupakan awal ziarah panjang menuju pintu kematian sendi-sendi kehidupan sebuah bangsa.
Eksistensi Credit Union (CU)
Koperasi Kredit (Credit Union), secara kelembagaan merupakan sebuah gerakan ekonomi rakyat yang memiliki visi dan misi yang jelas, dengan sasaran meningkatkan kesejahteraan para anggota khususnya dan masyarakat pada umumnya, lewat aktivitas jasa keuangan yang berbasis pada anggota. Menilik perjalanan awal kehadiran Credit Union di daratan Eropa (Jerman), maka sesungguhnya gerakan ini juga merupakan media untuk berbuat baik bagi sesama manusia (awalnya : fokus pada kaum miskin yang tak berdaya), dengan membangun diri sendiri dan membantu orang lain. Sejak kelahirannya di daratan Eropa hingga disemai di bumi pertiwi sekitar tahun 70-an, Koperasi Kredit (Kopdit) telah melewati berbagai terjangan dan kerikil tajam, tetapi mampu dilaluinya dengan baik. Semua itu merupakan konsekuensi dari perjalanan hidup kelembagaan Kopdit, sekaligus ujian yang menjadikan Koperasi Kredit sebagai lembaga keuangan nonbank semakin eksis, dinamis, kokoh, dan kompetitif.
Data empiris dengan jelas memberi informasi tentang betapa tidak berdayanya lembaga-lembaga keuangan menahan terjangan badai krisis keuangan (krismon) yang bertransmisi menjadi krisis ekonomi global. Lembaga keuangan (Bank) dan korporasi sebagai pilar utama daya tahan ekonomi yang tampak kokoh secara fisik, ternyata sangat keropos sehingga bertumbangan satu per satu dengan menyisakan mozaik-mozaik cerita tragis. Kokoh dan glamour secara kasat mata, ternyata tidak identik dengan daya tahan terhadap krisis dan jaminan kenyamanan.
Bagaimana dengan Koperasi Kredit (Credit Union/CU)? Sebagai institusi pelayanan usaha keuangan yang menjalankan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai dan prinsip koperasi, Credit Union juga berpapasan bahkan bersentuhan dengan krisis. Namun, krisis tidak menggoyahkannya. Krisis yang terjadi hanyalah riak dari sebuah resesi ekonomi yang bersifat temporer, sehingga seharusnya bisa dilalui dengan tenang tanpa ada kepanikan dan pergolakan yang berlebihan. Ini dapat terjadi apabila sebuah lembaga keuangan dikelola, dan dikembangkan dengan sistem manajemen yang professional, dengan dilandasi tanggung jawab dan komitmen yang tinggi. CU memang kecil dan sederhana, tidak semegah dan semewah lembaga keuangan lainnya.
Bahkan mungkin kurang diperhitungkan dalam hiruk pikuk lalu lintas pengembangan ekonomi, yang cenderung didominasi lembaga keuangan dan korporasi beraset besar karena didukung fasilitas teknologi yang canggih serta gencarnya promosi. Namun, CU solid dan dinamis. Solid karena kecenderungan membangun jaringan dengan individu maupun kelompok yang menjalankan usaha mikro. Kelompok yang tidak hanya memiliki keberanian berusaha, tetapi juga tanggung jawab sosial (social responsibility). Dalam menjalankan usaha, watak berani berspekulasi saja tidak cukup. Hal ini karena watak berani berspekulasi saja, hanya melahirkan mentalitas mudah melepas tanggung jawab. Dibutuhkan keberanian yang bertanggung jawab (courage responsibility). Tanggung jawab terhadap setiap resiko dari keputusan yang diambil dalam mengembangkan usaha. Dengan demikian, hal-hal negatif sebagai akibat dari tindakan spekulasi yang kurang bertanggung jawab dapat dihindari. Watak inilah yang dimiliki koperasi (kredit) dan usaha mikro lainnya. Terbukti, mereka tetap eksis dikala krisis atau gejolak ekonomi menerpa.
Credit Union (CU) memang berbeda dengan lembaga keuangan (bank). Perbedaan dari sisi orientasi, sistem, core bisnis, dan ketahanan terhadap gejolak. Hal terakhir, jelas sudah terbukti. CU tetap eksis, dikala krisis melanda. Kalau demikian, eksistensi CU tidak perlu diragukan lagi. Sebagai anggota CU, mari kita bersama-sama menggarap, memupuk dan menanam lahan ini dengan benih-benih kepercayaan serta pikiran positif. Kepercayaan dan pikiran positif yang terus-menerus disemai, menjadikan CU kokoh dan maju. CU maju berarti anggota sejahtera. Do it !!! (Penulis: Yoakim Deko Lamablawa)
Manajemen Keuangan Keluarga, Antara Impian, Mitos, Dan Realitas
Uang memang bukan segalanya, tetapi dapat membuat kita frustrasi jika tidak mampu mengelolanya dengan baik. Uang memang bukan segalanya, tetapi miskin akan uang bisa menjadi awal mala petaka dalam sebuah keluarga.
Pengantar
Setiap keluarga, terutama keluarga muda (fresh married) yang baru memulai kehidupan bersama, pasti senantiasa diliputi perasaan bahagia. Bahagia karena telah berhasil melewati sekaligus memenuhi berbagai prasyarat awal, untuk dapat hidup bersama dalam suatu komunitas sosial mikro yang bernama keluarga alias rumah tangga.
Di samping kebahagiaan, hal lain yang juga menjadi impian setiap keluarga adalah kamapanan keuangan. Bagi pasangan muda, kemapanan keuangan barangkali masih menjadi agenda kesekian karena hal yang merupakan prioritas adalah bagaimana menggunakan penghasilan yang ada untuk saling membahagiakan. Kebutuhan, bahkan keinginan apa pun dari pasangan, akan dipenuhi. Atas nama saling membahagiakan, maka persentasi terbesar dari penghasilan (take home pay) biasanya dialokasikan untuk biaya kebahagiaan. Menjadi bahagia adalah hak setiap orang, termasuk pasangan dalam keluarga. Namun, kebahagiaan yang disikapi dan dimaknai secara tidak proporsional, akan mengganggu arus pengelolaan keuangan keluarga sekaligus menghambat pencapaian kebahagiaan jangka panjang.
Dampak sesaat yang dapat dirasakan sebagai akibat kurang cermat dalam mengelola keuangan keluarga yakni kekacauan atau ketidakstabilan keuangan (finance turbulence). Tidak jarang, belum sampai akhir bulan, masing-masing pasangan sudah kelimpungan karena sudah tidak ada sisa dana untuk melanjutkan hari dan mempertahankan kebahagiaan hingga penghujung bulan. Perjalanan bulanan keluarga berakhir kurang bahagia alias tragis. Seharusnya kondisi ini disadari sejak awal sehingga bisa terhindar dari serangan virus “kanker ganas” alias kantong kering karena gaji tanpa sisa.
Serangan “kanker ganas” akan semakin menjadi apabila beberapa kewajiban bulanan yang harus menjadi prioritas, belum terselesaikan dengan baik. Misalnya, pembayaran angsuran mobil atau motor, angsuran rumah, sewa apartemen atau kontrak rumah, kartu kredit, bayar listrik, telepon, bahkan uang sekolah anak. Jika kewajiban prioritas ini sudah menjadi problem, maka kemungkinan yang akan terjadi adalah menerapkan sistem “member” (manajemen bertahan) dengan pola gali lubang tutup lubang. Semakin banyak lubang yang tergali, maka semakin terkikis pula kebahagiaan, ketenangan dan kedamaian dalam keluarga.
Virus “kanker ganas” dan sistem “member” sesungguhnya bukan momok yang manakutkan. Mereka harus disikapi untuk dijinakan. Obat penangkal untuk menjinakan kedua virus tersebut adalah cermat dan bijak. Cermat dalam melakukan perhitungan dan bijak dalam menerapkan pengelolaan keuangan keluarga. Dengan demikian, pelayaran bahtera rumah tangga dalam lautan kehidupan, akan terhindar dari serangan badai dan virus yang dapat menimbulkan turbulensi keuangan.
Cermat dan bijak juga hendaknya menjadi anak kunci bagi setiap keluarga, untuk membuka pintu kesadaran akan pentingnya manajemen keuangan, agar mampu menakhodai bahtera rumah tangga dalam melayari lautan kehidupan yang maha luas. Manajemen keuangan keluarga yang dikelola secara cermat dan bijak, akan mampu menghantarkan setiap keluarga menuju pelabuhan impian, yaitu kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang menentramkan hati dan pikiran setiap anggota keluarga, karena didukung mapannya kondisi keuangan.
Pentingnya Manajemen Keuangan Keluarga
Pertanyaan reflektif dan mendasar yang perlu dikemukakan dalam konteks ini adalah : “Pentingkah manajemen keuangan keluarga bagi sebuah komunitas mikro seperti keluarga? Apakah dengan menerapkan manajemen keuangan yang baik, sebuah keluarga sudah terbebas dari problem keuangan?” Jawab atas pertanyaan pertama, tentu penting. Sedangkan untuk pertanyaan kedua, setidaknya meminimalisasi persoalan keuangan dalam keluarga, sehingga tidak berkembang menjadi problem akut yang mengganggu dinamika dan kelangsungan hidup sebuah keluarga.
Dalam kaitan dengan fungsinya, uang hanyalah merupakan sarana untuk memperlancar dinamika kehidupan sebuah keluarga. Sebagai sarana, uang hendaknya dikelola secara bijak agar tidak sampai menimbulkan masalah. Realitas menunjukan bahwa banyak keluarga tidak begitu pusing dengan manajemen keuangan, karena percaya bahwa cukup bekerja keras dengan gaji yang tinggi, maka dengan sendirinya akan menyelesaikan semua persoalan keuangan. Benarkah?
Analisis korelasi antara uang dan keluarga, menunjukan beberapa hal yang melatarbelakangi pentingnya manajemen keuangan keluarga, antara lain :
a. Eksistensi suami – istri.
Suami-istri merupakan pasangan yang sepakat untuk membangun sebuah rumah tangga, atas dasar cinta kasih. Walaupun sepakat atas nama cinta, mereka tetap merupakan dua pribadi yang berbeda. Mereka berasal dari keluarga yang berbeda, lingkungan serta latar belakang budaya yang berbeda. Keragaman perbedaan akan mempengaruhi cara pandang masing-masing terhadap uang. Apalagi uang tidak ada hubungannya dengan cinta. Perbedaan ini dapat dijembatani dengan menerapkan manajemen keuangan dalam keluarga secara arif.
b. Uang sering menjadi pangkal perselisihan.
Perselisihan atau salah paham adalah bagian dari dinamika kehidupan sebuah keluarga. Oleh karena itu, perselisihan hendaknya dimaknai sebagai upaya meminimalkan perbedaan dalam keluarga. Ironisnya, perselisihan sering terjadi baik pada saat uang melimpah maupun saat kekurangan uang. Mengapa demikian?
Barangkali kita perlu mencermati ceritra berikut ini.
Seorang petingggi perusahaan pembuat mobil Jepang ketika pertama kali bertugas di Indonesia. Dalam sebuah kesempatan konferensi pers, beliau menyampaikan keheranannya sekaligus mengajukan pertanyaan kepada para wartawan. Mengapa di jalan-jalan di Indonesia terdapat banyak sekali mobil yang sama? Hal ini sangat berbeda dengan di Jepang. Mobilnya sangat variatif. Tak seorang wartawan pun mampu menjawab pertanyaan itu. Sang pejabat akhirnya hanya bisa menyimpan pertanyaan itu dalam hati, sambil berusaha mencari sendiri jawaban atas pertanyaannya. Dua tahun setelah menyelesaikan masa tugasnya, sekali lagi dia mengadakan konferensi pers dengan wartawan, sekaligus berpamitan untuk kembali ke Jepang. Pada kesempatan itu, kembali dia mengajukan pertanyaan yang sama. Namun, lagi-lagi tak seorang wartawan pun bisa menjawab pertanyaannya. Akhirnya sang pejabat menjawab sendiri pertanyaannya. Ternyata orang Indonesia membeli mobil bukan berdasarkan kebutuhannya, tetapi berdasarkan keinginan supaya sama dengan milik sahabatnya, tetangganya, atau kerabatnya. Membeli karena keinginan (want) sehingga banyak yang sama atau mirip. Karena tidak sesuai dengan kebutuhan (need), maka banyak juga mobil yang hanya sekedar sebagai pajangan di rumah, dan baru keluar kandang seminggu bahkan sebulan sekali.(Sumber : Kompas – dengan modifikasi).
Penilaian yang jujur dari seorang asing tentang perilaku banal (konsumeris) dari bangsa kita, mungkin karena kelimpahan uang. Sebaliknya, kekurangan uang dapat juga menjadi malapetaka atau musibah mulai dari tingkat yang sederhana sampai tingkat memprihatinkan.
c. Membicarakan keuangan dalam keluarga adalah hal tabu.
Kalau suami-istri sudah saling mencintai dan saling memahami, maka tabu kalau membicarakan uang. Sebuah konsep berpikir yang harus ditinjau kembali, karena kegagalan membicarakan keuangan dalam keluarga dapat menimbulkan masalah serius. Ingat, “uang tidak ada hubungannya dengan cinta dan perasaan”.
3. Langkah-langkah Perencanaan Keuangan Keluarga
Untuk mendapatkan kondisi kestabilan keuangan dalam keluarga, maka diperlukan perencanaan keuangan ( finanscial planning). Berikut ini tahapan perencanaan keuangan yang mungkin menjadi alternatif untuk diimplementasikan dalam keluarga.
a. Menentukan sasaran dan tujuan keuangan keluarga.
Sasaran dan tujuan keuangan keluarga ditentukan berdasarkan analisis keuangan yang telah dilakukan sebelumnya, terutama terhadap pemasukan dan pengeluaran (rutin). Demikian juga kebutuhan akan alokasi dana harus diperhitungkan terlebih dahulu. Penentuan tujuan keuangan harus realistis dan terukur sesuai dengan kondisi keuangan keluarga, sehingga menjadi skala prioritas untuk mencapainya.
b. Mendata ulang informasi tentang keuangan keluarga.
Mengingat perencanaan keuangan merupakan proyeksi pendapatan dan pengeluaran keluarga di masa depan, maka sangat diperlukan data informasi tentang keuangan keluarga. Data tersebut meliputi informasi tentang tujuan keuangan keluarga, ekspektasi pendapatan (termasuk pendapatan tambahan), pengeluaran bulanan, dan dana darurat (emergency fund). Semakin lengkap data keuangan keluarga, maka perencanaan yang dilakukan pun semakin baik.
c. Membuat dan mengembangkan perencanaan anggaran
Perencanaan anggaran merupakan penataan semua ekspektasi pemasukan dan pengeluaran dalam periode tertentu secara teratur dan proporsional. Oleh karena itu, dalam membuat dan mengembangkan perencanaan anggaran ini, perlu melakukan pemilahan antara pengeluaran tetap (fixed cost) dan pengeluaran tidak tetap (variable cost). Jangan lupa juga mengalokasikan dana darurat (emergency fund) sebagai antisipasi terhadap kondisi tak terduga atau darurat.
d. Analisis perencanaan anggaran
Perencanaan anggaran yang telah dibuat, perlu dianalisis kembali. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi terjadinya kekeliruan atau kesalahan perencanaan, sekaligus melakukan perbaikan dan penyesuaian.
e. Melaksanakan perencanaan anggaran
Setelah perencanaan anggaran dianalisis dan diyakini bahwa sudah benar, maka segera diterapkan. Pelaksanaan perencanaan anggaran harus konsisten. Agar tetap konsisten, maka perlu melakukan pengendalian terhadap kebutuhan tak terduga. Demikian juga perlu membedakan antara kebutuhan (need) dan keinginan (want).
f. Melakukan kontrol dan evaluasi anggaran
Kontrol dan evaluasi dilakukan untuk memastikan bahwa perencanaan anggaran telah dilaksanakan secara konsisten. Lewat evaluasi, pasangan juga bisa melakukan kesepakatan-kesepakatan baru apabila terjadi deviasi atau penyimpangan terhadap perencanaan anggaran.
Tipe Alternatif Pengelolaan Keuangan Keluarga
Banyak cara yang bisa digunakan oleh pasangan suami-istri untuk mengelola keuangan dalam keluarga. Berikut ini beberapa tipe yang bisa menjadi alternatif atau pilihan.
a. Uang bersama dan sistem amplop
Tipe ini mengasumsikan bahwa semua penghasilan suami-istri (baik sama-sama bekerja atau hanya salah satu yang bekerja), merupakan uang bersama. Setiap pos pengeluaran diinventarisasi lalu diberi amplop masing-masing.
b. Membagi berdasarkan persentase
Suami-istri menginventarisasi seluruh kebutuhan pengeluaran keluarga dalam sebulan (setahun?), termasuk tabungan (saving) dan darurat (emergency). Selanjutnya, masing-masing “menyumbang” dalam bentuk persentase yang disepakati secara proporsional. Misalnya, 80 : 20. Artinya, masing-masing memberi dari penghasilannya sebesar 80% untuk seluruh kebutuhan pengeluaran keluarga, sedangkan 20% digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi masing-masing.
c. Membagi tanggung jawab antara suami-istri
Komunikasi menjadi faktor kunci dalam melakukan pembagian tanggung jawab antara suami-istri, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pengeluaran keluarga. Pola pembagiannya bisa “berat” – “ringan” atau sebaliknya. Artinya, suami bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pengeluaran keluarga yang berat-berat (jumlahnya besar), sedangkan istri yang ringan-ringan (rutin, sederhana), atau sebaliknya. Pembagian porsi tanggung jawab ini bisa disesuaikan dengan besarnya penghasilan masing-masing.
Pertanyaan kritis yang mungkin muncul adalah, manakah tipe yang terbaik ? Bagaima kalau hanya salah satu yang bekerja ? Tipe apa pun baik, sangat tergantung dari kebiasaan dan kesepakatan bersama dalam keluarga. Suami-istri adalah dua pribadi yang berbeda tetapi satu (dwi tunggal). “Mereka bukan lagi dua melainkan satu”. Oleh karena itu, bila hanya salah satu yang bekerja, harus ada kesepakatan bersama bahwa salah satu menjadi “leader” (bertugas mencari), sedangkan yang lainnya menjadi “manajer” (bertugas mengelola). Apabila masing-masing pihak memainkan fungsi dan perannya secara maksimal, maka keluarga akan terus berlayar pada jalur kenyamanan keuangan untuk menggapai kebahagiaan sejati. Kuncinya, sang leader dan manajer harus cermat dan bijak dalam mengelola keuangan keluarga. Selamat mencoba.
(Penulis: Yoakim Deko Lamablawa)
Berkoperasi Secara Cerdas, Aktif dan Bijaksana
Cerdas, aktif, dan bijaksana merupakan unsur – unsur dominan yang senantiasa dimiliki oleh orang-orang sukses dalam hidup. Memang tidak dapat dinafikan bahwa banyak faktor yang turut mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam hidup. Namun, apabila dicermati lebih jauh, ternyata unsur-unsur tersebut masih menunjukkan peran yang dominan.
Dalam bukunya “Frames of Mind”, Howard Gardner seorang Profesor dari Harvard University menampilkan Theory of Multiple Intelligence, yang memperkuat perspektifnya tentang perkembangan kapasitas kognisi manusia. Gardner mendobrak tradisi umum teori tentang kecerdasan yang menganut dua asumsi dasar yaitu pandangan bahwa kognisi manusia itu bersifat satuan, dan setiap individu dapat dijelaskan sebagai makhluk yang memiliki kecerdasan yang dapat diukur dan tunggal. Hasil penelitian Gardner telah menguak rumpun kecerdasan manusia yang lebih luas daripada kepercayaan manusia sebelumnya, serta menghasilkan definisi tentang konsep kecerdasan yang sungguh pragmatis dan menyegarkan. Kecerdasan manusia tidak lagi diukur berdasarkan tes standar semata, tetapi dijelaskan sebagai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia, kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan, serta kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan jasa yang akan menimbulkan penghargaan dalam budaya seseorang. Konsep atau pemaknaan yang baru tentang kecerdasan tersebut di atas, telah memberikan gambaran tentang kapasitas kecerdasan manusia yang jauh lebih akurat daripada teori “kecerdasan tunggal” yang telah dikemukakan sebelumnya.
Ketika kebanyakan orang memiliki spektrum kecerdasan yang penuh, maka setiap individu akan menunjukkan perbedaan ciri-ciri kognitif. Menurut Theory of Multiple Intelligence, manusia memiliki tujuh jenis kecerdasan yang berbeda-beda dan akan menggunakannya dengan cara-cara yang sangat personal. Ketujuh jenis kecerdasan itu antara lain (1) kecerdasan linguistik/linguistic intelligence, (2) kecerdasan logika-matematika/logical-mathematical intelligence, (3) kecerdasan spasial/spatial intelligence, (4) kecerdasan kinestetik tubuh/bodily kinesthetic intelligence, (5) kecerdasan musik/ musical intelligence, (6) kecerdasan interpersonal/ interpersonal intelligence, dan (7) kecerdasan intrapersonal/ intrapersonal intelligence.
Setiap kecerdasan di atas, tampak memiliki urutan perkembangan sendiri, tumbuh dan menjelma pada waktu yang berbeda dalam suatu siklus kehidupan manusia. Dengan demikian, kita juga harus sadar bahwa setiap kecerdasan manusia dapat digunakan, baik untuk tujuan yang mulia maupun yang tidak mulia. Oleh karena itu, semua kecerdasan seharusnya mampu dilepaskan dari unsur penghargaan (value- free), yang kadang-kadang malah mereduksi makna dan peran kecerdasan itu sendiri. Bagaimana seseorang mampu memberdayakan kecerdasannya dalam hidup untuk kehidupan itu sendiri, merupakan sebuah pertanyaan moral yang sangat penting dan juga krusial.
Kecerdasan jamak (multiintelligence) yang disuguhkan Gardner, telah menyadarkan kita untuk senantiasa memberi ruang yang terbuka agar menciptakan kemungkinan-kemungkinan bagi pikiran manusia untuk berkembang menjadi sistem yang paling terbuka. Tidak semua manusia akan menjadi artis, politisi, penulis besar atau orang hebat lainnya. Namun yang pasti, setiap kehidupan manusia akan diperkaya melalui perkembangan bermacam-macam kecerdasan di tingkat yang paling memungkinkan. Jika setiap individu memiliki peluang untuk belajar melalui kelebihannya (baca: kecerdasan), maka akan muncul perubahan-perubahan kognitif, emosional, sosial, bahkan perubahan fisik yang positif dan menakjubkan.
Dalam konteks Koperasi Kredit (Kopdit), mengandalkan kecerdasan semata tidaklah cukup. Kecerdasan harus diikuti atau diimbangi dengan perilaku aktif dan bijaksana. Ketiga kata yang merupakan entri poin dari tulisan ini, menjadi semakin nyata dan bermakna ketika secara terus – menerus disemai lalu tumbuh subur untuk senantiasa dihidupi sebagai bagian dari kepribadian setiap insan Kopdit. Apabila telah terjadi sinergi yang positif dan maksimal antara ketiga unsur tersebut dalam diri setiap insan Kopdit, maka akan memberikan efek yang positif dan maksimal pula terhadap kelembagaan Kopdit serta anggota-anggotanya. Secara kelembagaan, Kopdit akan mengalami kemajuan yang dinamis dan progresif, sedangkan anggota akan mengalami perubahan berupa peningkatan kesejahteraan hidup, serta pencerahan dalam membangun dimensi berpikir dan cara pandang tentang Koperasi. Melalui bekal kecerdasan yang dimiliki, seorang anggota Koperasi diharapkan mampu secara cermat dan kritis membaca setiap peluang yang ditemui dalam hidup. Peluang tersebut akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kebaikan dan kemajuan diri sendiri, keluarga atau orang banyak. Bahkan dengan kecerdasan yang dimiliki, seseorang dapat juga secara kreatif mengubah tantangan atau hambatan menjadi peluang yang produktif.
Membangun perilaku aktif dalam berkoperasi haruslah cerdas, agar tidak berubah menjadi perilaku aktif yang agresif. Aktif yang agresif cenderung memperlihatkan perilaku yang tidak realistis. Dalam konteks Koperasi, perilaku aktif anggota selalu tampak dalam beberapa hal yang sekaligus akan dipergunakan sebagai indikator untuk mengukur kualitas partisipasi dari seorang anggota terhadap Koperasi. Perilaku aktif yang dimaksud antara lain : aktif mengikuti kegiatan pemberdayaan yang diselenggarakan Koperasi (misalnya : workshop, pelatihan wirausaha, pendidikan dasar, pendidikan lanjutan), aktif memberikan sumbangan pemikiran, waktu dan tenaga baik langsung maupun tidak langsung untuk kemajuan Koperasi, aktif membayar kewajiban-kewajiban administratif (misalnya : pembayaran simpanan wajib, simpanan sukarela, membayar bunga dan angsuran pinjaman tepat waktu), serta aktif melakukan transaksi pinjaman secara realistis. Apabila perilaku aktif ini selalu dialirkan pada alur yang seharusnya secara terus-menerus dan konsisten, maka akan memberikan banyak manfaat positif untuk anggota, baik secara individu maupun secara kolektif. Dengan demikian, hal terpenting yang harus selalu ditumbuhkan dalam diri setiap anggota Koperasi adalah perilaku aktif yang cerdas. Indikator keaktifan anggota sudah cukup jelas. Oleh karena itu, mari kita mengukur kualitas keaktifan kita masing-masing agar dapat melakukan perbaikan secara signifikan. Sebagai anggota Kopdit Padat Asih, apakah kita sudah mempraktikan perilaku aktif yang cerdas dalam berkoperasi? Barangkali jawaban yang paling tepat dan bijaksana adalah jawaban yang datang dari hati kita masing-masing sebagai anggota Kopdit Padat Asih.
Komponen lain yang juga penting dalam upaya membangun budaya berkoperasi yang cerdas adalah sikap bijaksana. Secara leksikal, bijaksana berarti pandai dan cermat atau teliti apabila menghadapi sesuatu. Dalam kaitannya dengan aktivitas berkoperasi, sikap bijaksana akan menuntun seorang anggota untuk selalu cermat dan realistis dalam mengambil keputusan atas setiap persoalan yang dihadapi. Semakin cermat dan realistis seorang anggota dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan aktivitas berkoperasi, maka akan menghindari dirinya dari hal-hal yang memberatkan sebagai efek dari sikap tidak bijaksana.
Sebagai insan Kopdit, kita sering dihadapkan pada persoalan-persoalan pop yang begitu menggoda. Ketika seseorang berada dalam kendali godaan, maka kecenderungan mengambil keputusan yang tidak bijaksana sangat besar. Salah satu dampak nyata dari sikap tidak bijaksana yang tampak dalam konteks Koperasi adalah munculnya tunggakan-tunggakan atau kredit bermasalah. Kredit bermasalah dalam Kopdit Padat Asih (4,45%) dapat diminimalisir sampai pada titik terendah apabila semua anggota mau mempraktikan perilaku bijaksana dalam melakukan transaksi pinjaman. Selama anggota Koperasi masih membiarkan diri dikendalikan oleh godaan-godaan yang tentatif, sehingga mengambil keputusan yang tidak bijaksana, maka persoalan kredit bermasalah akan terus muncul dengan trend meningkat.
Apabila dicermati lebih jauh, maka sesungguhnya efek dari sikap tidak bijaksana ini menimpah Koperasi sebagai institusi dann juga anggota Koperasi sebagai individu. Sebagai institusi, pertumbuhan dan perkembangan kelembagaan Kopdit akan terhambat, sedangkan anggota Koperasi akan mengalami kekacauan dalam pengendalian manajemen keuangan.
Bertolak dari deskripsi tentang pentingnya membangun perilaku cerdas, aktif, dan bijaksana dalam berkoperasi, maka tampak semakin nyata betapa pentingnya komponen-komponen itu harus selalu disemai dan dihidupi dalam diri setiap anggota Koperasi sebagai sebuah habitus baru.
Memasuki usia ke-32 tahun, Kopdit Padat Asih semakin matang. Dari sisi kelembagaan Kopdit Padat Asih tampak sangat solid dan kompetitif sedangkan dari sisi aset, Kopdit Padat Asih sangat likuid. Kondisi ini harus didukung oleh perilaku berkoperasi yang konstruktif dan produktif dari anggotanya. Dengan perilaku seperti itu, setiap anggota telah memberikan asupan gizi yang seimbang bagi tumbuh – kembangnya Kopdit Padat Asih, sehingga semakin kuat dan percaya diri dalam memasuki era kompetisi lembaga keuangan yang semakin ketat. Buah – buah lezat dari pohon Kopdit Padat Asih yang selalu disirami perilaku – perilaku positif dari anggota, akan selalu kita petik hari ini, besok dan selamanya. Jadilah insan Kopdit Padat Asih yang cerdas, aktif, dan bijaksana.
(Penulis: Yoakim Deko Lamablawa)
Sejarah Credit Union Indonesia
Gerakan Credit Union atau Koperasi Simpan pinjam sebenarnya sudah masuk ke indoneia pada tahun 1950, dibawa beberapa sukarelawan yang sudah mendirikan usaha – usaha simpan pinjam menurut prinsip Raiffeisien, pemerintah indonesia juga sudah pula menjalankan koperasi kredit dengan memakai sistem yang sama sejak tahun 1955 sampai dengan tahun 1959.
Namun musibah terjadi pada permulaan tahun 1960-an, dimana inflasi melanda negeri kita sangat hebat, banyak usaha – usaha yang bergerak dibidang simpan – pinjam menjadi lumpuh, karena tidak bisa menentang inflasi yang kian melaju.
Koperasi – koperasi ini akhirnya banyak yang beralih menjadi Koperasi Konsumsi yang banyak berspekulasi uang, akhirnya koperasi – koperasi ala Raiffeisen tidak terdengar lagi pada pertengahan tahun 1960-an dan yang bermunculan adalah Koperasi Serba Usaha.
Perubahan kondisi moneter terjadi pada awal pemerintahan Orde Baru, dimana ekonomi negara cenderung ke arah stabil. Stabilitas itu mulai terlihat mulai pada tahun 1967. Pada waktu itu pengerak ekonomi masyarakat mulai memikirkan pengembangan koperasi kredit dan mereka mulai menghubungi WOCCU atau Dewan Dunia Koperasi Kredit.WOCCU memberikan tanggapan yang sangat positif dan mengirimkan salah satu tenaga ahlinya yaitu Mr. A.A Baily ke Indonesia, dalam pertemuan dengan Mr. A. A baily tersebut didiskusikan kemungkinan diperkenalkan dan dikembangkannya gagasan Credit Union di Indonesia sebagai sarana sekaligus wahana pengentasan masyarakat Marginal.
Sebagi tindak lanjut, beberapa orang mengadakan study circle secara perodik di Jakarta dan akhirnya bersepakat membentuk wadah bernama Credit Union Counselling Office (CUCO) pada awal Januari 1970 dipimpim oleh K. Albrecth Karim Arbie, SJ, untuk memimpin kegiatan operasionalnya, tahun 1971 Drs. Robby Tulus diangkat sebagai Managing Director.
Untuk mendapatkan legalitas dari pemerintah, CUCO Direktur Jendral Koperasi departemen tenaga kerja , transmigrasi dan koperasi yang pada masa itu dijabat oleh Ir. Ibnoe Soedjono, untuk menjajaki kemungkinan dikembangkannya Credit Union di Indonesia dan berlindung dibawah naungan Undang – Undang Perkoperasian yaitu, UU No. 12/1967.
Tanggapan sangat positif dari Direktur Jendral Koperasi memberikan masa Inkubasi selama 5 tahun untuk mengembangkan gagasan gerakan Kredit Union di Indonesia. Masa inkubasi berakhir dengan diadakannya Konferensi Nasional Koperasi Kredit bulan Agutus 1976 di Bandungan, Ambarawa, Jawa Tengah, yang dihadiri juga oleh Ir. Ibnoe Soedjono sebagai Direktur Jendral Koperasi, dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jendral Koperasi, beliau memberikan restu kepada CUCO untuk melanjutkan kegiatan mengembangkan Credit Union di Indonesia dengan menyesuaikan diri kepada ketentuan – ketentuan dalam UU no. 12/1967 tentang pokok – pokok Perkoperasian di Indonesia. Sejak itulah secara Nasional nama Koperasi Kredit di ganti dengan Credit Union, sedangkan Credit Union Counselling office (CUCO) diterjemahkan menjadi Biro Konsultasi Koperasi Kredit (BK3).
Tahun 1981 diselenggarakan Konferensi Nasional Koperasi Kredit Indonesia, dimana dibentuk organisasi baru bernama Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I) dengan kepengurusan yang dipilih secara demokratis, terpilih sebagai ketua Drs. Robby Tulus. Terjadi pergantian nama dan sifat organisasi. Biro Konsultasi Koperasi Kredit (BK3) atau Credit Union Counselling Office (CUCO) menjadi Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I) atau Credit Union Coordination of Indonesia (CUCO Indonesia) dan untuk daerah menjadi BK3D (Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah). Saat ini BK3 berubah nama menjadi BKCU dan BK3I berubah menjadi Inkopdit.