“Krisis keuangan global menampar golongan menengah-atas yang terbiasa hidup di surga monoter. Namun, karena gejolak monoter diramalkan lama, tamparan juga akan dirasakan kelas menengah dan kaum miskin yang hidupnya bergantung pada fluktuasi monoter……”(Yasraf A. Piliang)
Latar Belakang Krisis Keuangan Global
Gejolak monoter yang melanda Amerika Serikat (AS) saat ini, dalam sekejap menjelma menjadi krisis global yang mengguncang fundamental perekonomian dunia. Hampir semua sektor perekonomian terdepresi sehingga menimbulkan kepanikan global. Sesungguhnya kondisi seperti ini sudah lama diprediksi oleh para analis ekonomi-monoter. Prediksi yang mengemuka sejak penerapan sistem perekonomian pasar bebas dan ideologi neoliberalisme, yang melahirkan watak kultural perputaran ekonomi monoter yang mengglobal (orbital) dan penjalaran efek ekonomi yang cepat seperti virus (viral). Watak kultural orbital dan viral memungkinkan adanya keterhubungan dan ketergantungan global yang rentan terhadap gejolak atau krisis. Selain kultur orbital dan viral sebagaimana disebutkan di atas, hal lain yang juga disinyalir turut memberi andil terjadinya krisis keuangan adalah perilaku banal. Perilaku banal selalu merayakan konsumerisme remeh-temeh seperti “shopping”, “life style”, pamer kemewahan; yang juga membutuhkan biaya tinggi. Selisih antara pendapatan dan pengeluaran untuk membiayai perilaku konsumeris diperoleh dari pinjaman. Pada titik tertentu, terjadi ketidakmampuan mengembalikan pinjaman sehingga terjadi kredit macet (Nonperforming Loan/NPL). Kredit macet yang tidak mampu dibayar, menjadi pintu masuk terjadinya gejolak atau krisis keuangan.
Kondisi kesalingterhubungan dan kesalingtergantungan global, telah menciptakan budaya ekonomi global sebagai jejaring terbuka (open network).
Sebagaimana layaknya jaringan internet yang rentan terhadap serangan virus, sistem jejaring terbuka juga rawan terhadap serangan virus spekulasi dan kemacetan, baik yang dilakukan oleh individu maupun korporasi di salah satu belahan dunia. Terbukti,serangan virus krisis keuangan di AS, dengan cepat menjalar dan menyerang seluruh sistem jejaring global tanpa ada yang tersisa. Inilah efek penerapan sistem perekonomian pasar bebas, dengan kendali yang minimal dari otoritas pemerintah, sehingga beresiko melahirkan krisis. Krisis yang akhirnya tidak hanya menampar kaum komsumeris dan hedonis, tetapi juga kaum papa yang tak berdaya dan seluruh fundamental ekonomi.
Imbas Terhadap Perekonomian Nasional
Sebagai bagian dari jejaring ekonomi global, perekonomian Indonesia juga menuai imbas. Awalnya, otoritas pemerintah agak mengabaikan kondisi ini karena beranggapan bahwa efeknya terhadap lalu lintas perekonomian dalam negeri tidak terlalu signifikan. Daya tahan ekonomi Indonesia kuat. Namun, apabila mencermati beberapa kebijakan darurat yang telah dan akan diambil oleh pemerintah dan otoritas monoter belakangan ini, maka tampak sekali adanya kepanikan. Langkah kebijakan darurat, sebagai indikator yang menunjukkan adanya kegentingan dampak krisis keuangan global terhadap perekonomian Indonesia, dapat dicermati melalui beberapa peristiwa berikut. Otoritas pemerintah dan Bank Indonesia (BI), sudah dan akan segera (1) menerbitkan Perpu tentang Jaringan Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), (2) mengubah undang-undang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), (3) mengamandemen undang-undang Bank Indonesia, (4) membentuk gugus tugas penanganan krisis keuangan yang melibatkan tim penyidik Polri, Jaksa Penuntut Umum, LPS, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), serta Bursa Efek Indonesia (BEI), (5) pengetatan likuiditas perbankan, (6) penutupan sementara (suspend) perdagangan BEI pada tanggal 8 Oktober 2008 lalu, dan (7) melaksanakan program “Buy Back” terhadap saham-saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pengetatan likuiditas perbankan, tampak dari adanya langkah yang diterapkan yakni : kehati-hatian dalam menyalurkan kredit, menunda pencairan pinjaman yang telah disetujui, serta menaikkan suku bunga kredit. Akibatnya, para pelaku usaha enggan melakukan eksperimen dan ekspansi usaha. Mereka cenderung mengambil sikap “wait and see”.
Walaupun cukup banyak indikator yang menunjukkan adanya gejala kepanikan, tetapi dalam beberapa momentum komunikasi politik, masih ada juga elit bangsa yang mengumandangkan jargon politik yang persuasif, tetapi bernada sumbang dan gamang : “Jangan panik karena kepanikan hanya akan menimbulkan pergolakan (turbulensi) dan kekacauan (chaos) ekonomi. Daya tahan ekonomi kita masih stabil!”
Berdasarkan deskripsi terhadap beberapa kebijakan darurat yang telah diambil seperti di atas, apakah betul ekonomi kita (Indonesia) tidak terdepresi dan sungguh stabil? Barangkali pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh kita semua dengan sebuah kejujuran hati. Kejujuran yang tidak direkayasa dan digandrungi kalkulasi-kalkulasi politik yang spekulatif, untuk kepentingan orang-orang tertentu, dengan mengorbankan kepentingan yang lebih luas. Semoga apa yang telah dilakukan hanyalah langkah-langkah antisipatif yang seharusnya dilakukan oleh otoritas pemerintah dan perbankan, untuk mencegah gejolak di bidang keuangan bertransmisi menjadi krisis ekonomi yang lebih parah.
Jangan ada dusta di antara kita. Dusta lahir dari matinya hati nurani dan rasa solidaritas manusia. Dusta sering diformat lalu dibungkus dalam bahasa verbal yang persuasif, sehingga mampu menghipnotis manusia, untuk kemudian menerimanya sebagai sebuah kultur baru yang permisif. Tebaran informasi publik berbalut dusta yang tidak proporsional hanya akan memunculkan kebingungan, frustrasi, sakit hati, dan kecewa. Frustrasi, sakit hati, dan kecewa adalah penyakit psikologis yang melahirkan apatisme. Apatisme yang kronis merupakan awal ziarah panjang menuju pintu kematian sendi-sendi kehidupan sebuah bangsa.
Eksistensi Credit Union (CU)
Koperasi Kredit (Credit Union), secara kelembagaan merupakan sebuah gerakan ekonomi rakyat yang memiliki visi dan misi yang jelas, dengan sasaran meningkatkan kesejahteraan para anggota khususnya dan masyarakat pada umumnya, lewat aktivitas jasa keuangan yang berbasis pada anggota. Menilik perjalanan awal kehadiran Credit Union di daratan Eropa (Jerman), maka sesungguhnya gerakan ini juga merupakan media untuk berbuat baik bagi sesama manusia (awalnya : fokus pada kaum miskin yang tak berdaya), dengan membangun diri sendiri dan membantu orang lain. Sejak kelahirannya di daratan Eropa hingga disemai di bumi pertiwi sekitar tahun 70-an, Koperasi Kredit (Kopdit) telah melewati berbagai terjangan dan kerikil tajam, tetapi mampu dilaluinya dengan baik. Semua itu merupakan konsekuensi dari perjalanan hidup kelembagaan Kopdit, sekaligus ujian yang menjadikan Koperasi Kredit sebagai lembaga keuangan nonbank semakin eksis, dinamis, kokoh, dan kompetitif.
Data empiris dengan jelas memberi informasi tentang betapa tidak berdayanya lembaga-lembaga keuangan menahan terjangan badai krisis keuangan (krismon) yang bertransmisi menjadi krisis ekonomi global. Lembaga keuangan (Bank) dan korporasi sebagai pilar utama daya tahan ekonomi yang tampak kokoh secara fisik, ternyata sangat keropos sehingga bertumbangan satu per satu dengan menyisakan mozaik-mozaik cerita tragis. Kokoh dan glamour secara kasat mata, ternyata tidak identik dengan daya tahan terhadap krisis dan jaminan kenyamanan.
Bagaimana dengan Koperasi Kredit (Credit Union/CU)? Sebagai institusi pelayanan usaha keuangan yang menjalankan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai dan prinsip koperasi, Credit Union juga berpapasan bahkan bersentuhan dengan krisis. Namun, krisis tidak menggoyahkannya. Krisis yang terjadi hanyalah riak dari sebuah resesi ekonomi yang bersifat temporer, sehingga seharusnya bisa dilalui dengan tenang tanpa ada kepanikan dan pergolakan yang berlebihan. Ini dapat terjadi apabila sebuah lembaga keuangan dikelola, dan dikembangkan dengan sistem manajemen yang professional, dengan dilandasi tanggung jawab dan komitmen yang tinggi. CU memang kecil dan sederhana, tidak semegah dan semewah lembaga keuangan lainnya.
Bahkan mungkin kurang diperhitungkan dalam hiruk pikuk lalu lintas pengembangan ekonomi, yang cenderung didominasi lembaga keuangan dan korporasi beraset besar karena didukung fasilitas teknologi yang canggih serta gencarnya promosi. Namun, CU solid dan dinamis. Solid karena kecenderungan membangun jaringan dengan individu maupun kelompok yang menjalankan usaha mikro. Kelompok yang tidak hanya memiliki keberanian berusaha, tetapi juga tanggung jawab sosial (social responsibility). Dalam menjalankan usaha, watak berani berspekulasi saja tidak cukup. Hal ini karena watak berani berspekulasi saja, hanya melahirkan mentalitas mudah melepas tanggung jawab. Dibutuhkan keberanian yang bertanggung jawab (courage responsibility). Tanggung jawab terhadap setiap resiko dari keputusan yang diambil dalam mengembangkan usaha. Dengan demikian, hal-hal negatif sebagai akibat dari tindakan spekulasi yang kurang bertanggung jawab dapat dihindari. Watak inilah yang dimiliki koperasi (kredit) dan usaha mikro lainnya. Terbukti, mereka tetap eksis dikala krisis atau gejolak ekonomi menerpa.
Credit Union (CU) memang berbeda dengan lembaga keuangan (bank). Perbedaan dari sisi orientasi, sistem, core bisnis, dan ketahanan terhadap gejolak. Hal terakhir, jelas sudah terbukti. CU tetap eksis, dikala krisis melanda. Kalau demikian, eksistensi CU tidak perlu diragukan lagi. Sebagai anggota CU, mari kita bersama-sama menggarap, memupuk dan menanam lahan ini dengan benih-benih kepercayaan serta pikiran positif. Kepercayaan dan pikiran positif yang terus-menerus disemai, menjadikan CU kokoh dan maju. CU maju berarti anggota sejahtera. Do it !!! (Penulis: Yoakim Deko Lamablawa)