Pada awal abad ke-19, masyarakat Jerman ditimpa musibah kelaparan dan musim dingin yang hebat. Para petani yang menggantungkan hidup pada kemurahan alam tak berdaya melawan keadaan. Persediaan makanan sangat terbatas dan penyakit mewabah.
Dalam keadaan yang serba tak menentu tersebut, ada sekelompok orang yang diuntungkan dan bahagia atas penderitaan orang lain. Mereka adalah para lintah darat. Kalau para petani memerlukan uang, maka kepada lintah darat lah mereka berlindung. Para lintah darat meminjamkan uang dengan bunga yang sangat tinggi. Beginilah nasib para petani “gali lobang tutup lobang, tutup hutang lama, cari hutang baru.” Bahkan sering terjadi harta benda para petani juga menjadi incaran para lintah darat.
Karena sulitnya kehidupan di kampung, para petani berbondong-bondong ke kota mengadu nasib mencari pekerjaan. Di sana mereka berusaha mencari nafkah sebagai buruh kasar di pabrik-pabrik. Tetapi, sebagai buruh kasar, mereka hanya diperas tenaga dan keringatnya, tanpa imbalan atau upah memadai. Majikan malah bertambah kaya, tetapi buruh hanya dijadikan sebagai “sapi perahan belaka.”
Keadaan di kota lebih dipersulit lagi dengan meletusnya Revolusi Industri menjelang pertengahan abad ke-19. Tenaga buruh mulai diganti dengan tenaga mesin, sehingga pengangguran merajalela. Buruh makin tak berdaya. Nasib para petani yang pindah ke kota menjadi buruh pabrik tidak lebih baik dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang masih bertahan di kampung.
Karena keadaan sosial-ekonomi masyarakat Jerman yang semakin memburuk, seorang wali kota Flammerfield di Jerman Barat, Friedrich Wilhelm Raiffeisen, bertekat untuk mencari jalan penyelesaiannya. “Kaum miskin harus segera ditolong” begitu katanya. Maka Raiffeisen mengundang kaum kaya agar mengumpulkan uang untuk menolong kaum miskin.
Kaum kaya menanggapi secara positif seruan sang walikota, Raiffeisen. Mereka mengumpulkan uang dan membagi-bagikannya kepada kaum miskin. Tapi, usaha ini tidak membuahkan hasil dan sama sekali tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kaum miskin. Ternyata, derma atau bantuan cuma-cuma tidak dapat memecahkan masalah kemiskinan. Sebab kemiskinan adalah akibat dari cara berpikir yang keliru. Penggunaan uang tidak terkontrol dan tidak sedikit para penerima derma yang cepat-cepat memboroskan uangnya agar segera minta derma lagi. Akhirnya, para dermawan tidak berminat membantu kaum miskin lagi.
Sang walikota, Raiffeisen, bukanlah orang yang mudah putu sasa. Ia mengambil cara lain dalam menyelesaikan masalah kemiskinan ini dengan mengumpulkan roti dari pabrik-pabrik roti di Jerman. Roti-roti yang terkumpul dibagi-bagikan kepada para buruh dan petani miskin. Namun, usaha inipun tidak menyelesaikan masalah kemiskinan secara permanen. Hari ini diberi, besok sudah habis, begitu seterusnya. Berdasarkan pengalaman di atas, sang wali kota berkesimpulan: “KESULITAN SI MISKIN HANYA DAPAT DI ATASI OLEH SI MISKIN ITU SENDIRI. SI MISKIN HARUS MENGUMPULKAN UANG SECARA BERSAMA-SAMA DAN KEMUDIAN MEMINJAMKAN KEPADA SESAMA MEREKA JUGA. PINJAMAN HARUS DIGUNAKAN UNTUK TUJUAN YANG PRODUKTIF, YANG MEMBERIKAN PENGHASILAN. JAMINAN PINJAMAN ADALAH WATAK SI PEMINJAM.”
Untuk mewujudkan impian tersebut, Raiffeisen bersama kaum buruh dan petani miskin membangun Koperasi, yang bernama Credit Union. Mereka berhasil mencetuskan tiga (3) prinsip utama Credit Union, yaitu:
- Azas swadaya-Tabungan hanya diperoleh dari anggotanya;
- Azas Setia kawan-Pinjaman hanya diberikan kepada para anggota;
- Azas Pendidikan dan Penyadaran-Membangun WATAK adalah yang utama. Hanya yang berWATAK baik yang dapat diberikan pinjaman. Jadi, jaminan pinjaman adalah WATAK peminjam.
Credit Union yang dibangun oleh Raiffeisen, petani miskin, dan kaum buruh berkembang pesat di Jerman. Bahkan menyebar ke seluruh dunia. Ke Kanada, Credit Union dibawa oleh seorang wartawan yang bernama Alphonse Desjardin pada awal abad ke-20. Ke Amerika Serikat, Credit Union dibawa oleh seorang saudagar kaya yang bernama Edward Fillene. Ke Indonesia, dibawa oleh seorang pastor Yesuit, Pastor Karl Albrecth Karim Arbie, SJ .